Refleksi atas Permendikbud 46/2023 dan Wajah Kekerasan yang Tak Kasat Mata


Sekolah itu seharusnya taman, bukan ring tinju.

Tapi belakangan, taman itu sering terasa gersang. Ada guru yang menekan, murid yang membully, orang tua yang menuntut, hingga masyarakat yang gemar menghakimi. 

Dan di tengah riuh itu, datanglah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023, seperti payung yang berusaha menahan derasnya hujan kekerasan yang turun tanpa ampun.

Payung ini—katanya—untuk melindungi semua: peserta didik, guru, tenaga kependidikan, bahkan orang tua yang masuk ke lingkungan pendidikan. Ia menegaskan: tak boleh ada lagi kekerasan fisik, psikis, seksual, diskriminasi, apalagi perundungan yang diam-diam merusak akar kasih di sekolah.
Bahasanya rapi, pasalnya lengkap. Tapi, aturan tak akan menumbuhkan empati kalau hati masih beku.

Lihatlah guru.
Ia manusia biasa, bisa lelah, bisa marah, bisa khilaf. Tapi di bawah tekanan kurikulum, administrasi, dan gaji yang seret, terkadang tangan yang seharusnya mengajar malah menampar. Semua berawal dari “niat mendidik”, tapi berakhir di luka yang tak mudah sembuh.

Namun jangan cepat menuding. Karena murid pun kini bisa menjadi pelaku—melukai lewat kata, menindas lewat gawai, atau menertawakan kawan yang berbeda. Dunia digital membuat jari mereka lebih cepat dari nurani.

Lalu ada orang tua. Mereka yang kadang merasa sekolah adalah bengkel tempat anaknya diperbaiki—kalau bisa cepat, kalau bisa sempurna. Mereka menuntut hasil tanpa proses, nilai tanpa akhlak, dan lupa: setiap bentakan di rumah bisa menjadi bibit kekerasan di sekolah.

Dan di luar pagar, masyarakat ikut bersuara, kadang lebih nyaring dari fakta. Di media sosial, gosip bisa jadi vonis. Anak yang salah sedikit, dihujat ramai-ramai. Kepala sekolah yang ragu menindak, disebut tak tegas. Semuanya ingin jadi hakim, tanpa mau jadi pendidik.

Permendikbud 46/2023 hadir bukan untuk menambah tumpukan aturan, tapi untuk mengembalikan akal sehat dalam mendidik

Ia mengingatkan: kekerasan bukan sekadar pelanggaran, tapi pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Ia membangun sistem—TPPK di sekolah, Satgas di daerah, mekanisme laporan di kementerian—agar tak ada lagi anak yang belajar sambil menahan takut, atau guru yang mengajar sambil menahan malu.

Namun, sekuat apa pun payung itu, ia tetap tak berguna bila kita semua masih menikmati hujan kebiasaan lama: membentak atas nama disiplin, mempermalukan atas nama nasihat, atau mengabaikan atas nama sibuk.
Karena kekerasan tak selalu berwujud darah; kadang ia cuma sunyi yang dibiarkan.

Sekolah hanya akan jadi tempat aman bila kita semua—guru, murid, orang tua, dan masyarakat—sepakat bahwa mendidik adalah bentuk cinta, bukan kuasa.

Jadi, sebelum pasal-pasal itu kita hafal, mari tanyakan hal paling sederhana:
Apakah anak-anak kita sudah belajar dengan bahagia?
Kalau belum, mungkin payung itu masih belum
cukup lebar meneduhkan hati kita sendiri. ☕️


Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih

3 komentar untuk "Refleksi atas Permendikbud 46/2023 dan Wajah Kekerasan yang Tak Kasat Mata"

  1. Maasya Allah pak ustad sungguh menyentuh, ya benar sekali pendidikan itu urusan kita semua, bukan urusan sekolah saja, bukan urusan polisi, juga bukan urusan kementerian. kalau timpang salah satunya maka pendidikan akan selamanya berjalan pincang dengan proses panjang yang melelahkan tanpa dihibur dg hasil yg direncanakan. setidaknya hasilnya adalah sebuah proses yg kompak. semoga sehat terus pak.

    BalasHapus
  2. Tulisannya sangat mendalam dan berisi. Keren pak.

    BalasHapus