Sekolah Masih Berasap: Antara Aturan, Teladan, dan Nurani yang Hilang
Sekolah seharusnya taman belajar, bukan taman asap. Tapi di banyak tempat, bau tembakau masih diam-diam menembus pagar pendidikan. Ada yang merokok di toilet, ada yang menyalakan sebatang di ruang guru, ada pula orang tua yang menunggu anak sambil mengepulkan asap di depan gerbang. Padahal, negara sudah bicara jelas lewat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015: sekolah adalah kawasan tanpa rokok.
Namun, seperti biasa Kang, aturan sering kalah oleh kebiasaan.
Guru beralasan “sekadar satu batang”, murid merasa gagah dengan rokok di tangan, sementara kepala sekolah pura-pura tidak mencium asapnya. Kita sibuk dengan administrasi, tapi abai pada napas anak-anak yang perlahan kotor oleh contoh buruk.
Padahal sanksinya tegas. UU Kesehatan bisa menjatuhkan denda hingga Rp 50 juta bagi pelanggar kawasan tanpa rokok. Kepala sekolah pun diberi wewenang memberi sanksi kepada guru, murid, atau tenaga kependidikan yang melanggar. Tapi, seperti payung bocor di tengah hujan, hukum itu tak berarti kalau tak ada yang mau memegangnya dengan hati-hati.
Masalahnya bukan sekadar batang rokok—ini soal budaya dan teladan.
Kita masih menganggap rokok sebagai hal biasa, bahkan simbol kedewasaan. Saat murid ketahuan merokok, sebagian sekolah malah menanganinya dengan cara lama: bentakan, tamparan, penghinaan di depan kelas. Kita lupa, Kang, pelanggaran itu sering lahir dari anak yang sedang mencari arah, bukan niat membangkang. Hukuman keras mungkin mematikan rasa salah, tapi sekaligus mematikan kepercayaan.
Lebih ironis lagi, kadang pelakunya justru guru atau orang tua.
Bagaimana murid bisa belajar disiplin, kalau yang mencontohkan malah abai? Bagaimana anak-anak percaya pada aturan, kalau teladannya justru pembuat asap?
Permendikbud 64/2015 dan UU 17/2023 bukan hanya soal larangan merokok, tapi ajakan menata ulang nurani pendidikan. Sekolah bebas rokok tak cukup dengan papan larangan—ia perlu keteladanan, ruang dialog, dan kesadaran bersama.
Coba kita renungkan:
Jika guru menahan diri, murid akan belajar mengontrol diri. Jika orang tua berhenti menormalisasi rokok, anak-anak tak akan penasaran pada asap. Jika masyarakat berhenti memuji “kejantanan berasap”, mungkin udara di sekitar sekolah akan lebih bersih—bukan hanya untuk paru, tapi juga untuk hati.
Jadi, sebelum sibuk menegakkan pasal, mari tengok diri sendiri.
Apakah kita sungguh-sungguh menjadi teladan bebas rokok, atau sekadar pembaca peraturan tanpa jiwa? Karena aturan itu, Kang, cuma payung—tak akan berguna kalau kita masih menikmati hujan kebiasaan lama.
Seruput dulu kopinya, Kang.
Sebab kadang, perubahan besar berawal dari napas kecil yang berani menolak asapnya sendiri. ☕️

Posting Komentar untuk "Sekolah Masih Berasap: Antara Aturan, Teladan, dan Nurani yang Hilang"