Minat Ngaji di Kalangan Remaja Menurun Drastis, Kenapa?

M. Apap (murid SMPN 1 Mande) , juara Tilawah STQ Kabupaten Cianjur

Ada satu pola yang kerap berulang di banyak kampung, masjid, dan madrasah:

anak-anak kecil berbondong-bondong datang mengaji, suara iqra dan Al-Qur’an bersahut-sahutan menjelang magrib. Namun ketika usia mereka naik ke SMP, satu per satu mulai menghilang. Bangku ngaji kosong. Suara pun meredup.

Minat ngaji remaja menurun bukan sekadar isu keagamaan. Ia adalah cermin perubahan zaman, pola asuh, dan wajah pendidikan kita hari ini.

Pertama, pergeseran dunia remaja.
Remaja SMP hidup di fase pencarian jati diri. Mereka mulai ingin diakui, ingin dianggap dewasa, ingin “punya dunia sendiri”. 

Sayangnya, dunia yang menyambut mereka lebih dulu sering kali bukan masjid atau majelis ilmu, melainkan gawai, media sosial, dan ruang digital yang penuh hiburan instan. Ngaji yang menuntut duduk tenang, konsentrasi, dan kesabaran kalah menarik dibanding layar yang terus menyala.

Kedua, cara mengaji yang tak ikut tumbuh.
Banyak remaja berhenti ngaji bukan karena membenci Al-Qur’an, tetapi karena metodenya terasa berhenti di masa kanak-kanak. Nada bicara masih seperti ke anak kecil, pendekatannya minim dialog, isinya lebih banyak menyuruh daripada mengajak. Remaja yang kritis butuh penjelasan, bukan sekadar perintah. Mereka ingin tahu “mengapa”, bukan hanya “harus”.

Ketiga, beban sekolah formal yang kian berat.
Tugas menumpuk, les tambahan, target akademik, belum lagi tekanan prestasi. Ngaji sering diposisikan sebagai aktivitas tambahan, bukan kebutuhan ruhani. Akibatnya, ketika waktu dan tenaga terbatas, ngaji yang pertama dikorbankan.

Keempat, hilangnya teladan.
Remaja belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat. Ketika orang dewasa sibuk mengejar dunia, jarang membaca Al-Qur’an, atau hanya menjadikan agama sebagai simbol, pesan yang tertangkap remaja sangat jelas: ngaji bukan prioritas hidup.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Solusinya bukan memarahi remaja, tapi menemani mereka.

Ngaji perlu dihadirkan kembali sebagai ruang aman, bukan ruang penghakiman. Remaja butuh guru ngaji yang mau mendengar, berdialog, dan memahami dunia mereka. Bukan sekadar memperbaiki makhraj, tetapi juga menjawab kegelisahan hidup.

Metode pun perlu berubah. Ngaji remaja tidak cukup hanya membaca, tetapi juga memaknai, mengaitkan ayat dengan realitas: tentang pertemanan, media sosial, cinta, kecemasan masa depan, dan pencarian jati diri. Ketika Al-Qur’an terasa relevan dengan hidup mereka, minat akan tumbuh dengan sendirinya.

Keluarga juga memegang peran kunci. Rumah yang hidup dengan Al-Qur’an—meski sebentar tapi rutin—akan menanamkan pesan kuat bahwa ngaji adalah kebutuhan, bukan kewajiban kosong.

Dan yang paling penting, kita perlu berhenti melihat ngaji sebagai kegiatan masa kecil. Ngaji adalah perjalanan seumur hidup. Jika remaja menjauh hari ini, itu bukan akhir cerita—itu tanda bahwa kita perlu memperbaiki cara menyapa mereka.

Karena sejatinya, Kang, remaja tidak pernah benar-benar meninggalkan Al-Qur’an.
Sering kali, merekalah yang sedang menunggu…
dipanggil kembali dengan cara yang lebih manusiawi.

Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih

Posting Komentar untuk "Minat Ngaji di Kalangan Remaja Menurun Drastis, Kenapa? "