Ketika Relawan MBG Digaji Lebih Layak dari Guru Honorer

Ada satu fakta yang pelan-pelan menyusup ke ruang diskusi pendidikan, tapi jarang dibicarakan dengan jujur:


gaji relawan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah daerah bisa lebih besar dari gaji guru honorer.

Bukan salah programnya.
Bukan pula salah para relawannya.
Yang bermasalah adalah cara negara menimbang nilai sebuah pengabdian.

Guru honorer datang ke sekolah setiap pagi.
Mengajar, menilai, membimbing, menenangkan anak-anak yang datang dengan berbagai luka rumah.
Mereka tidak sekadar mengajar mata pelajaran, tapi juga mengajarkan cara hidup.
Namun di akhir bulan, yang diterima sering kali tak cukup untuk sekadar hidup layak.

Sementara itu, relawan MBG—yang tugasnya mulia, memastikan anak-anak tidak belajar dalam keadaan lapar—mendapat insentif yang relatif lebih manusiawi.
Lagi-lagi, ini bukan soal iri.
Ini soal prioritas.

Ironisnya, di ruang kelas guru honorer mengajarkan tentang cita-cita, masa depan, dan kerja keras.
Di luar kelas, realitas justru mengajarkan bahwa pengabdian tidak selalu dihargai secara adil.

Negara tampaknya lebih mudah memberi anggaran pada program yang terlihat, terukur, dan bisa dilaporkan cepat.
Makan siang bisa difoto. Paket gizi bisa dihitung. Tetapi mendidik manusia?
Itu kerja sunyi. Hasilnya panjang.
Tak bisa dipanen dalam satu periode anggaran.

Guru honorer terjebak di wilayah abu-abu:
dibutuhkan, tapi tak benar-benar diperjuangkan.
Dipuja saat Hari Guru,
dilupakan saat menyusun anggaran.

Padahal, Kang, makan bergizi dan pendidikan bukan dua hal yang saling meniadakan.
Keduanya sama penting.
Anak yang kenyang tapi gurunya lapar—itu bukan kemajuan.
Itu paradoks.

Jika relawan MBG layak digaji dengan baik, maka guru honorer lebih dari layak mendapat kehidupan yang manusiawi.
Sebab guru bukan relawan musiman.
Mereka pilar sistem.
Tanpa guru, semua program pendidikan hanya jadi etalase.

Narasi ini bukan untuk menurunkan martabat relawan MBG.
Justru sebaliknya, ini untuk mengangkat martabat guru honorer yang terlalu lama dipinggirkan.

Sebab bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang memberi makan anak-anaknya,
tetapi bangsa yang memuliakan orang yang mendidik mereka.

Dan selama guru honorer masih harus memilih antara idealisme dan dapur,
kita patut bertanya:
apakah kita sungguh-sungguh menempatkan pendidikan sebagai prioritas?

Atau hanya sebagai slogan yang indah…
tapi miskin keberpihakan?

Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih

Posting Komentar untuk "Ketika Relawan MBG Digaji Lebih Layak dari Guru Honorer"