Sahabat Sebaya: Ikhtiar Mendikdasmen Menghadirkan Sekolah yang Lebih Aman dan Manusiawi
Sekolah itu, Akang Teteh, bukan cuma ruang kelas dan jadwal pelajaran. Ia adalah tempat di mana anak-anak belajar menjadi manusia—belajar memahami dunia, sekaligus memahami dirinya sendiri. Tapi sering kali, sekolah sibuk dengan nilai dan laporan, sementara suara-suara kecil yang butuh didengar malah tenggelam dalam riuh rutinitas.
Di tengah riuhnya persoalan bullying, kekerasan, dan kesepian yang kian mengeras di sekolah, Kemendikdasmen meluncurkan sebuah pendekatan yang rasanya sederhana, tapi punya daya yang tak boleh diremehkan: Sahabat Sebaya, sebuah model peer to peer yang akan menjadi ruang aman bagi anak untuk curhat, berbagi, dan didengarkan oleh teman seusianya.
Kepala Puspeka, Rusprita Putri Utami, mengatakan pendekatan ini akan mulai diterapkan akhir tahun. Yang ingin dibangun bukan sekadar program formal, tapi jembatan emosional—antara murid dengan murid, murid dengan guru, murid dengan orang tua.
Karena sering kali, Akang Teteh, suara hati seorang anak lebih mudah sampai ketika dibisiki pada teman sebaya daripada disampaikan pada guru yang terasa “terlalu dewasa”.
Saat Guru Terlalu Sibuk, Temanlah yang Menjadi Cermin
Mari jujur, Akang Teteh: guru BK kita sering kewalahan. Tanggung jawab mereka menumpuk, jumlah murid tak sebanding, dan persoalan anak kini bukan lagi bicara soal terlambat atau malas belajar—tapi tentang kesehatan mental, tekanan sosial, body shaming, hingga kesepian.
Di sinilah Sahabat Sebaya menjadi penting.
Anak-anak dilatih kemampuan konseling dasar, komunikasi asertif, empati, dan teknik menjadi pendengar yang baik. Mereka bukan psikolog mini, tapi teman yang paham, teman yang bisa menangkap sinyal bahaya sebelum terlambat, sebelum sunyi berubah menjadi ledakan seperti yang terjadi di sekolah lain baru-baru ini.
Ruang Aman Bukan Cuma Tembok, Tapi Kultur
Yang ingin dibangun bukan sekadar program, tapi budaya sekolah yang menenangkan, bukan yang menakutkan.
Bahwa anak-anak boleh lemah, boleh bingung, boleh bercerita tanpa dihakimi.
Sahabat Sebaya tak hanya menjadi tempat cerita, tetapi juga Duta Anti Kekerasan yang mempromosikan toleransi, keberagaman, serta empati di kalangan siswa.
Anak-anak bukan lagi objek kebijakan, tetapi bagian dari solusi.
Dan sejujurnya, Akang Teteh—menghadirkan ruang aman bukan soal megahnya gedung sekolah, tapi lembutnya hubungan antarmanusia di dalamnya.
Mendengar Sebelum Terlambat
Sahabat Sebaya ini menjadi pengingat bahwa kadang, pencegahan kekerasan dan perundungan tidak dimulai dari rapat guru, tetapi dari obrolan kecil antara dua sahabat di bawah pohon mangga halaman sekolah.
Anak-anak yang terlatih ini bisa menjadi penjaga pintu pertama. Mereka mendengarkan, memeluk secara emosional, lalu meneruskan masalah berat kepada guru atau orang dewasa yang tepat.
Ini bukan sekadar program; ini cara baru melihat anak sebagai subjek yang berdaya.
Agar Sekolah Tak Lagi Sunyi dan Luka
Akang Teteh, sekolah-sekolah kita banyak yang megah bangunannya, tapi rapuh hatinya. Banyak peraturan dipasang di dinding, tapi tak satu pun menyentuh dinding batin.
Pendekatan Sahabat Sebaya memberi harapan baru:
bahwa sekolah bisa menjadi tempat hangat, bukan tempat takut.
bahwa anak bisa menjadi penyembuh bagi sesamanya.
bahwa suara kecil mereka layak didengar sebelum menjadi tangis yang terlambat dibaca.
Dan mungkin, Akang Teteh, masa depan sekolah aman tidak lahir dari aturan yang keras—tapi dari telinga yang bersedia mendengar.
Seruput dulu kopinya, Akang Teteh.
Sebab kadang, perubahan besar lahir dari percakapan kecil yang akhirnya menyelamatkan hati seorang anak.

Posting Komentar untuk "Sahabat Sebaya: Ikhtiar Mendikdasmen Menghadirkan Sekolah yang Lebih Aman dan Manusiawi"