Pelajaran dari SMAN 72: Bahwa Sunyi Bisa Meledak


Sekolah mestinya menjadi tempat tawa, ilmu, persahabatan—bukan ruang di mana anak merasa kesepian hingga akhirnya memilih jalan yang retak. Kasus di SMAN 72 Jakarta yang meledak bukan sekadar soal ledakan fisik, Kang — tapi ledakan dari sebuah kerinduan yang buruk ditanggapi: anak yang merasa tak punya teman, tak punya ruang curhat.

Pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kini mencoba merespon dengan pelatihan guru BK dan program “teman sebaya”. Ide bagus. Namun saya bertanya: sudahkah kita mendengar bisikan anak-anak yang sunyi di koridor sekolah kita?

Senyap yang Tak Terlihat

Anak itu bisa duduk di deretan paling depan, mengangguk saat guru mengajar, tertawa di jam istirahat—dan saat malam tiba, kesepian menyeretnya hingga ke pilihan yang membahayakan. Di SMAN 72, pelaku ledakan mengaku tak punya teman curhat. Ini bukan masalah satu sekolah; ini masalah sistem yang gagal mendeteksi suara sebelum suara itu jadi ledakan.

Guru BK bukan lagi sekadar pendamping; mereka harus jadi teman, bukan justru jadi figur yang dihindari. Pelatihan BK bagus, tapi yang lebih penting: transformasi budaya sekolah agar anak merasa “di rumah”, bukan “di medan perang”.

Teman Sebaya: Potensi yang Harus Dihidupkan

Program teman sebaya yang direncanakan Kemdikdas menandakan satu hal: bahwa anak memerlukan orang sebaya yang bisa menangkap sinyal bahaya lebih dulu. Tapi program tak akan berjalan hanya dengan pelatihan singkat—ia butuh ruang dan waktu untuk berakar. Sekolah harus menyediakan ranting bagi anak-anak ini untuk tumbuh sebagai pendengar dan sahabat, bukan sekadar label “duta”.

Teladan yang Ditinggalkan

Kang, seringkali kita lupa bahwa sekolah itu bukan cuma bangunan dan jadwal; ia adalah komunitas manusia. Ketika guru sibuk dengan target nilai, evaluasi, administrasi—anak bisa merasa terlupakan. Ketika orang tua hanya menuntut prestasi tapi lupa memeriksa kondisi emosi anak—anak bisa merasa tak dipahami. Ketika paling dekat dengan kita tapi kita tak memberi ruang “curhat”, maka ruang mereka akan dicari di tempat yang tak seharusnya.

Mengubah Gemuruh Menjadi Sorak

Apa yang kita butuhkan bukan hanya alarm yang bunyi setelah tragedi, tapi sistem yang mendengar sebelum kehancuran. Sekolah harus menjadi ruang aman, bukan hanya dari fisik, tapi dari sunyi. Pelatihan guru BK dan program teman sebaya adalah langkah awal — tapi langkah ini akan sia-sia jika di sekolah masih ada sudut yang anak tak berani lihat, tak berani masuk.

Kang, sebelum kita terjebak dalam statistik dan evaluasi, mari kita luruskan satu hal:
Apakah anak-anak kita tahu bahwa mereka bisa berbicara tanpa takut?
Bisakah guru menjadi tempat ia bukan hanya menjawab soal tapi juga menjawab rasa?
Dan apakah sekolah kita masih menyimpan sudut untuk “tak punya teman” menjadi “menemukan teman”?

Jika belum, maka ledakan itu hanya menunggu jeda. Dan kita semua—guru, orang tua, masyarakat—bertanggung jawab agar ruang sekolah tidak hanya aman secara fisik, tapi aman secara hati.

Seruput dulu kopi, Kang. Karena perubahan besar sering dimulai dari ruang yang sunyi menjadi ruang yang didengar. ☕️

Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih

Posting Komentar untuk "Pelajaran dari SMAN 72: Bahwa Sunyi Bisa Meledak"