Budaya Negatif yang Diam-Diam Menggerogoti Semangat Belajar Murid


Ada satu hal yang sering luput dari perhatian kita, Wak.
Bahwa semangat belajar anak-anak kita tidak hanya menipis karena kesulitan pelajaran atau fasilitas sekolah yang terbatas.
Bukan itu saja.

Sering kali, yang merampas semangat mereka adalah budaya-budaya kecil yang dianggap sepele, tapi perlahan menggigit akar motivasi mereka seperti rayap: senyap, tak terlihat, tapi menghancurkan dari dalam.

Hari ini mari kita duduk sebentar, menyeruput kopi, dan menatap jujur wajah pendidikan kita sendiri.

1. Budaya Mengejek dan Meremehkan

Kita sering menertawakan anak yang bertanya, padahal bertanya adalah tanda hidupnya rasa ingin tahu.

Di sekolah, tidak sedikit anak yang menahan diri untuk mengangkat tangan karena takut diejek,
“Ah, masa gitu aja nggak tahu?”
“Pertanyaan bodoh!”

Padahal, Wak, dalam Islam tidak ada istilah pertanyaan bodoh. Yang bodoh adalah mereka yang menertawakan ilmu.

Diam-diam, budaya mengejek ini membuat banyak anak lebih memilih diam daripada dianggap salah.
Dan ketika anak takut salah, saat itulah semangat belajar perlahan mati.

2. Budaya Membandingkan Anak

“Lihat tuh si A rangking satu.”
“Kamu kok nggak kayak kakakmu?”
“Anak orang bisa, masa kamu nggak?”

Kalimat-kalimat seperti ini mungkin tampak lumrah di telinga orang dewasa.
Tapi bagi hati anak, itu seperti pisau kecil yang diselipkan perlahan.

Perbandingan mematikan keunikan.
Memadamkan rasa percaya diri.
Mengubah belajar menjadi beban untuk mengejar ekspektasi orang lain.

Dan anak yang belajar karena takut—bukan karena minat—akan cepat lelah dan mudah menyerah.

3. Budaya Mengejar Nilai, Melupakan Belajar

Kita hidup di zaman ketika angka rapor lebih dihargai daripada proses.
Nilai 90 dipuja, nilai 70 dicemooh.
Padahal angka tidak pernah benar-benar mampu membaca perjuangan.

Akibatnya, banyak murid belajar hanya untuk ujian, bukan untuk memahami.
Mereka menghafal demi lulus, lalu lupa setelah keluar kelas.

Ilmu yang tidak menumbuhkan rasa penasaran hanyalah beban, bukan cahaya.

4. Budaya Guru Tak Didengar, Murid Tak Dihargai

Ada sekolah yang dingin bukan karena AC-nya, tapi karena hubungannya.
Guru mengajar seperti mesin, murid belajar seperti robot.
Tidak ada senyum, tidak ada sapaan, tidak ada pelukan moral.

Padahal, Wak, anak-anak itu sebenarnya bukan kurang pintar.
Mereka hanya kurang merasakan bahwa sekolah adalah “rumah”.

Jika hati mereka tidak nyaman, apa pun pelajarannya terasa pahit.

5. Budaya Rumah yang Tak Lagi Menyapa

Semangat belajar tidak hanya terbentuk di sekolah.
Banyak anak kehilangan semangat karena rumah tidak lagi menjadi tempat bertanya.

Orang tua sibuk dengan gawai, murid sibuk dengan layar,
dan akhirnya rumah hanya menjadi tempat tidur, bukan tempat tumbuh.

Ketika anak tidak punya ruang aman untuk bercerita,
maka beban kecil menjadi gunung besar yang tak tertangani.

6. Budaya Meremehkan Proses dan Mengagungkan Instan

Kita hidup di era instan:
makanan instan, jawaban instan, kesuksesan instan.

Anak membaca motivasi satu menit lalu berharap hidup berubah.
Melihat konten orang sukses lalu kecewa dengan hidupnya sendiri.

Padahal ilmu tidak pernah lahir dalam kecepatan.
Ilmu butuh sabar.
Butuh jatuh.
Butuh berulang.
Butuh mencoba.

Semangat belajar hancur ketika anak lebih percaya pada cepatnya media sosial daripada pelan-pelannya proses.

Penutup: Mari Rawat Semangat Belajar Anak-Anak Kita

Wak, semangat belajar bukan hanya urusan kurikulum.
Ia adalah urusan adab, budaya, dan lingkungan hati.

Budaya-budaya kecil yang negatif itu harus kita ubah sebelum terlambat:

  • Jadikan bertanya sebagai keberanian, bukan kelucuan.
  • Hentikan membandingkan.
  • Hargai proses, bukan hanya nilai.
  • Buat sekolah terasa hangat.
  • Jadikan rumah tempat aman untuk gagal dan mencoba lagi.
  • Ajari anak bahwa proses itu lebih mulia daripada hasil instan.

Karena akhirnya, Wak, masa depan anak-anak bukan ditentukan oleh ranking rapor mereka…
tetapi oleh semangat belajar yang tidak padam.

Dan semangat itu tumbuh dari budaya yang kita rawat hari ini.

Seruput dulu kopinya.
Mari kita mulai perubahan kecil yang bisa menyelamatkan masa depan besar anak-anak kita.

Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih

Posting Komentar untuk "Budaya Negatif yang Diam-Diam Menggerogoti Semangat Belajar Murid"