Dukungan Psikologis Awal (DPA), Sentuhan Pertama dalam Menangani Kekerasan di Sekolah
Kekerasan di sekolah bukan hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga luka batin yang kerap tak terlihat. Rasa takut, malu, marah, hingga trauma bisa membekas lama pada anak korban kekerasan. Di sinilah pentingnya Dukungan Psikologis Awal (DPA) — sebuah langkah sederhana namun berdampak besar untuk membantu pemulihan emosional anak sejak awal peristiwa terjadi.
| Tahapan Look, Listen, dan Link dalam DPA (Gambar: property Deni Kurnia) |
DPA adalah bentuk pertolongan pertama secara psikologis bagi anak yang mengalami, menyaksikan, atau terlibat dalam situasi kekerasan. Konsep ini diadaptasi dari praktik psychological first aid yang banyak digunakan dalam penanganan bencana, lalu diterapkan di dunia pendidikan untuk melindungi kesejahteraan mental peserta didik.
DPA bukan terapi, bukan konseling mendalam, dan bukan diagnosis gangguan psikologis. Namun, DPA menjadi langkah awal yang penting untuk memastikan korban merasa aman, didengarkan, dan mendapatkan dukungan yang sesuai. Seperti halnya P3K pada luka fisik, DPA adalah “pertolongan pertama” bagi luka batin.
Landasan Hukum dan Regulasi
Penerapan DPA di satuan pendidikan memiliki dasar hukum yang kuat. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, setiap sekolah diwajibkan memiliki Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
Salah satu tugas TPPK yang tercantum dalam pasal-pasal juknisnya adalah memberikan dukungan psikologis awal kepada korban, pelapor, atau saksi kekerasan. Langkah ini juga menjadi bagian dari Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan yang dikeluarkan oleh Kemendikbudristek sebagai pedoman teknis bagi seluruh sekolah di Indonesia.
Tiga Tahap Penting dalam DPA: Look, Listen, Link
Dalam pelaksanaan DPA, ada tiga langkah sederhana yang dikenal dengan metode 3L: Look, Listen, dan Link.
1. Look (Melihat)
Mengamati kondisi anak dan situasi di sekitarnya. Apakah anak tampak takut, tertekan, atau menarik diri? Langkah ini membantu pendidik memahami tingkat urgensi dukungan yang dibutuhkan.
2. Listen (Mendengarkan)
Mendengarkan anak dengan empati tanpa menghakimi. Biarkan anak bercerita dengan caranya sendiri. Hindari pertanyaan yang menggiring atau menekan.
3. Link (Menghubungkan)
Menghubungkan anak dengan pihak yang dapat memberikan bantuan lanjutan, seperti psikolog sekolah, konselor, atau layanan profesional lain sesuai kebutuhan.
Metode ini dapat dilakukan oleh guru, anggota TPPK, maupun tenaga kependidikan yang telah mendapatkan pelatihan dasar. Kuncinya adalah kepekaan, kesabaran, dan kerahasiaan informasi anak.
Menumbuhkan Sekolah yang Peduli
Penerapan DPA bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi wujud nyata kepedulian sekolah terhadap kesehatan mental anak. Ketika setiap guru mampu memberikan DPA dengan baik, sekolah akan menjadi ruang aman yang tidak hanya melindungi dari kekerasan, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan diri dan empati antar warga sekolah.
Dengan dukungan regulasi yang jelas dan pelatihan yang berkelanjutan, DPA menjadi pondasi penting dalam mewujudkan sekolah yang aman, inklusif, dan ramah anak — tempat di mana setiap peserta didik merasa dilihat, didengar, dan dihargai sepenuhnya.

Posting Komentar untuk "Dukungan Psikologis Awal (DPA), Sentuhan Pertama dalam Menangani Kekerasan di Sekolah"