Ketika Pengabdian dan Kekuasaan Berpapasan: Sebuah Potret yang Mengusik Nurani
Ada gambar yang tidak butuh banyak kata untuk menjelaskan ketimpangan: seorang lelaki tua bersepeda, berkemeja lusuh, wajahnya penuh garis kerja berat bertahun-tahun. Di depannya, berdiri seorang pria rapi dengan setelan jas gelap, berdiri di samping mobil mewah. Dua dunia bertemu di satu titik jalan.
Di atas keduanya tergantung dua poster sederhana, namun menyimpan ironi yang menampar nurani.
Poster pertama menggambarkan suara sebagian guru PPPK yang telah puluhan tahun mengabdi, namun ketika usia menua dan tenaga melemah, mereka pulang tanpa jaminan pensiun.
Sementara poster kedua mengisyaratkan tentang betapa mudahnya jabatan politik memperoleh berbagai fasilitas—sebuah perbedaan yang terlalu mencolok untuk diabaikan, meski aturan sebenarnya tentu lebih kompleks dari sekadar kalimat poster.
Tetapi, Kang, yang ingin disampaikan gambar ini bukan soal benar atau tidaknya angka-angka di poster itu.
Yang ingin dibicarakan adalah rasa keadilan.
Tentang bagaimana negara kadang lebih memanjakan kekuasaan dibanding mereka yang bekerja sunyi menyalakan kecerdasan anak bangsa.
Guru PPPK berdiri pada posisi yang unik sekaligus menyakitkan. Mereka mengajar sama kerasnya dengan guru ASN PNS, menghadapi murid yang sama ragamnya, ikut membangun karakter bangsa yang sama, namun perlindungan dan kepastian masa tuanya tidak selalu setara. Banyak di antara mereka yang sudah mengabdi puluhan tahun, namun tetap dihantui kecemasan tentang hari tua.
Sementara itu, jabatan politik—yang masa pengabdiannya hanya beberapa tahun—terlihat jauh lebih tenang dari sisi fasilitas dan jaminan. Boleh jadi fasilitas itu sah secara regulasi, tetapi adilkah secara moral?
Gambar ini ibarat cermin.
Ia bukan sedang mengajak kita membenci siapa pun, tetapi memanggil kita untuk berpikir:
Siapa sebenarnya yang paling menopang negara ini dari akar terdalam?
Siapa yang menghidupkan kelas, menyemai nilai, menahan sabar, dan menemani tumbuh generasi?
Jawabannya sederhana: guru.
Termasuk guru PPPK yang selama ini bekerja tanpa banyak bicara.
Gambar itu juga seperti dialog diam antara dua dunia.
Lelaki tua itu seakan berkata:
“Kami tidak meminta mobil, tidak meminta kursi empuk. Kami hanya ingin kepastian, penghargaan yang layak, dan rasa adil…”
Sementara sosok berjas di depannya, mungkin sedang berpikir:
betapa jauhnya ia dari realitas rakyat yang bekerja sunyi tapi menanggung beban bangsa.
Narasi ini tidak sedang mencari musuh.
Narasi ini ingin mengingatkan:
negara kuat bukan karena pejabatnya, tetapi karena guru-gurunya.
Dan jika guru—terutama PPPK—masih dibiarkan gamang tentang masa tuanya, maka bangsa ini sedang memperlakukan pilar pendidikannya sebagai pilihan kedua.
Keadilan itu bukan soal angka.
Ia soal penghormatan terhadap mereka yang memberi cahaya.
Dan cahaya itu, Kang, tidak pernah lahir dari mereka yang hanya berdiri di panggung…
tetapi dari mereka yang bertahun-tahun berdiri di depan papan tulis.

Posting Komentar untuk "Ketika Pengabdian dan Kekuasaan Berpapasan: Sebuah Potret yang Mengusik Nurani"